Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, 100 korban pelanggaran HAM berat yang saat ini berada di luar negeri telah meninggal dunia. Sebelumnya, jumlah korban hanya 65 orang.
Mahfud mengatakan saat ini ada 136 korban pelanggaran HAM berat di luar negeri. Menurutnya, 134 orang menjadi korban Peristiwa G30S 1965.
“Tiga minggu lalu saya diperintahkan Presiden untuk mencari korban pelanggaran HAM berat di luar negeri dan menemui mereka,” kata Mahfud di kantornya, Jumat (23/6).
Mahfud mengatakan 67 atau mayoritas korban berada di Belanda. Sedangkan korbannya hanya satu di Rusia, namun keturunannya mencapai 37 orang.
Selain itu, 14 orang tinggal di Republik Ceko, 8 orang di Swedia, 2 korban dan salah satu keturunannya di Slovenia, serta 2 orang di Malaysia. Sedangkan di Albania, Bulgaria, Syria, Inggris, Jerman masing-masing hidup sebagai korban 1965.
Mahfud menjelaskan, semua korban 1965 di luar negeri adalah akibat kebijakan yang diskriminatif. Saat itu, mahasiswa dan pekerja kedutaan tidak bisa kembali ke Indonesia karena pergi pada masa Orde Lama.
Para mahasiswa dan buruh ini dicap memiliki ikatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akhirnya, akses mereka ke negara tersebut secara resmi diblokir oleh pemerintah.
“Namun, tidak terbukti mereka terlibat dalam gerakan itu dan menurut sejarah mereka telah dihukum,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, salah satu korban 1965 yang berhasil kembali ke Indonesia adalah Presiden BJ Habibie. Setelah menyelesaikan studinya di Jerman, Habibie bertemu Soeharto di Jerman.
Saat itu, Habibie menceritakan kondisinya kepada Soeharto. Setelah itu, Soeharto membuka akses bagi Habibie untuk kembali ke tanah air dan menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi sebelum akhirnya menjadi Presiden ke-3.
Jumlah korban masih bisa bertambah
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Teguh Pudjo Rumekso mengatakan, jumlah korban pelanggaran HAM di masa lalu bisa saja berubah. Teguh menyebutkan, jumlah calon korban yang dihitung Komnas HAM mencapai 6.350 orang dari 12 kasus.
Teguh mengatakan, awalnya hanya ada 50 korban pelanggaran HAM berat di DI Aceh. Angka tersebut berubah menjadi 99 orang yang terdiri dari 62 korban hidup, 31 meninggal dunia, dan 6 hilang.
“Saya kira kick-off di DI Aceh akan menjadi magnet bagi mereka yang belum terdaftar sebagai korban,” ujar Teguh.
AKSI KAMIS KE 759 (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww.)
Namun, tidak semua korban pelanggaran HAM masa lalu yang berada di luar negeri akan menghadiri kick-off di KBRI. Sebab, tidak semua korban berada di kota-kota besar. Apalagi usia mereka berkisar antara 70 hingga 80 tahun.
Teguh mengatakan akan ada dua korban 1965 yang akan hadir di Aceh dari Ceko dan Belanda. Kedua korban berusia di atas 80 tahun.
“Ada korban yang mendapatkan link zoom untuk tampil online,” kata Teguh.
Reporter: Andi M. Arief