Pekerja dan pengusaha sama-sama memprotes aturan ketenagakerjaan dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Alasannya mulai dari formula standar yang tidak sesuai dengan dunia internasional hingga adanya indeks tertentu.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan, alokasi gaji justru lebih berpotensi merugikan pegawai ketimbang pemberi kerja.
Sebab, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah variabel yang ditetapkan dalam perhitungan upah minimum sewaktu-waktu. Di sisi lain, perekonomian Indonesia justru lebih bergantung pada konsumsi masyarakat ketimbang situasi global dan ekspor yang merupakan kondisi ketidakpastian Perppu.
Oleh karena itu, Trubus berpendapat bahwa pasal ini menempatkan buruh pada posisi paling rentan dan dirugikan untuk menyelamatkan perusahaan. “Jadi sebenarnya pemerintah ini mengeluarkan kebijakan panik,” kata Trubus kepada Katadata.co.id, Jumat (1/6).
Sebagai informasi, Pasal 88F Perppu mengatur masalah formula gaji. Pasal tersebut berbunyi: dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan rumus perhitungan Upah Minimum yang berbeda dengan rumus perhitungan Upah Minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
Sedangkan Pasal 88D ayat (2) menjelaskan bahwa variabel yang digunakan dalam rumusan upah minimum adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu.
Namun, Trubus mengatakan buruh masih memiliki kesempatan untuk memperjuangkan haknya. Hal itu dilakukan dengan berperan aktif dalam pembuatan peraturan turunan Perppu Cipta Kerja.
“Tentunya regulasi turunan ini yang paling ditunggu-tunggu,” kata Trubus.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Agus Agus Pambagio menyarankan pemangku kepentingan untuk tetap mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tentang pengupahan. Menurutnya, Perppu Cpitta Kerja diragukan keabsahannya karena tidak menyelesaikan masalah UU Cpitta Kerja.
“Nanti kalau pakai Perppu Cita Kerja dibatalkan lagi? Ya kan rusuh. Saya kira Perppu No 2 2022 masih rawan, buat apa pakai yang tidak pasti?” ujar Agus kepada Katadata.co.id, Jumat (6/1).
Agus menilai pemerintah harus membuat aturan yang berada di tengah antara kepentingan investor dan pekerja. Jika pemerintah berpihak pada buruh maka investor akan lari, sedangkan jika investor diprioritaskan maka buruh akan berteriak.
Agus menilai keseimbangan itu masih bisa ditemukan dalam UU Ketenagakerjaan.
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan menyebut formula yang diatur dalam Perppu menyempurnakan formula yang sudah ada. Pasalnya, rumusan UU Cipta Kerja sebelumnya tidak diterima semua pihak.
Formula upah minimum ditentukan oleh tiga variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Hal ini berbeda dengan aturan sebelumnya dimana upah minimum ditentukan oleh inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Tak hanya itu, aturan pemerintah untuk menetapkan upah minimum juga hanya dilakukan jika daerah tersebut dilanda bencana. Sedangkan bencana yang dimaksud harus ditetapkan sebagai bencana nasional.
“Dalam hal ini Menaker atas nama Presiden akan menetapkan upah minimum regional,” kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Indah Anggoro Putri dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (6/1).
Reporter: Andi M. Arief