Redaksi Kompas TV dan Kompas.com digugat oleh seorang YouTuber karena mengunggah di akun YouTube masing-masing berita tentang utang Indonesia China Express (KCIC) yang membengkak menjadi Rp. 8,5 triliun.
Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosianna Silalahi menjelaskan, seluruh materi visual yang digunakan untuk membuat berita diambil dari akun YouTube resmi PT KCIC.
“Anehnya kami menggunakan visual yang sama untuk membuat berita tentang uji coba kereta cepat saat acara G20 sekitar November 2022, tidak masalah,” jelas Rosi dalam keterangan media, Kamis (11/5).
Sejak pertengahan April, menurut dia, segala upaya untuk menyelesaikan masalah ini telah dilakukan termasuk membuka komunikasi dengan PT KCIC dan YouTube.
“YouTuber melalui pengacaranya meminta kami membayar Rp 200 juta per video yang jumlahnya sekitar Rp 1,3 miliar dan ini diketahui PT KCIC. Menurut PT KCIC, YouTuber yang menggugat kami adalah salah satu dari 25 kreator konten binaan PT KCIC,” kata Rosi.
Terkait kejadian tersebut, Redaksi KompasTV menggelar audiensi dengan sejumlah pemangku kepentingan surat kabar di Indonesia. Diawali dengan Redaksi Forum pada Jumat (5/5), dilanjutkan dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada Rabu (9/5) dan bertemu dengan Kepala Press Room pada Kamis (10/5).
Audiensi terkait isu kebebasan pers dan upaya bersama menjaga kualitas jurnalistik di Indonesia. Rosianna menuturkan, inisiatif bertemu dan berdiskusi dengan pemangku kepentingan merupakan bentuk tanggung jawab moral redaksi KompasTV.
“Sebenarnya urusan kita sudah selesai. Akun YouTube KompasTV tidak lagi terancam dibakar, tetapi kami melihat potensi ancaman kebebasan pers gaya baru dengan menggunakan platform global, dalam hal ini YouTube,” kata Rosi.
Menurutnya, kasus ini harus menjadi perhatian bersama, demi menjaga kebebasan pers di era digital. “Hari ini terjadi di redaksi KompasTV, bukan tidak mungkin bisa terjadi di ruang redaksi lainnya,” jelas Rosi.
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyayangkan kejadian yang menimpa Kompas TV terkait pemberitaan utang KCIC. Menurutnya, segala hal yang berkaitan dengan sengketa berita harus diselesaikan sesuai ketentuan undang-undang.
Ninik menambahkan, Dewan Pers telah membuat regulasi untuk menghadapi era digital, khususnya terkait surat kabar.
“Aturan Dewan Pers, jika ada konflik dalam pemberitaan yang disebarluaskan di media sosial, itu masuk dalam bidang mediasi dan penyelesaian oleh Dewan Pers,” ujarnya.
Jadi, jika ada pemberitaan oleh sebuah perusahaan surat kabar dan disebarluaskan ke media sosial kemudian menjadi konflik pihak ketiga, para pihak yang terlibat disarankan untuk datang ke Dewan Pers untuk mediasi. Dia memohon agar proses penyelesaian tidak dilakukan dengan cara mengintimidasi, pemerasan dengan meminta pembayaran sejumlah uang dan sebagainya.
“Kalau konflik pelaporan, solusinya dengan UU 40,” kata Ninik.
Senada dengan Ketua Dewan Pers, Ketua Forum Redaksi Arifin Asydhad berpendapat, kejadian yang menimpa Kompas TV ini perlu diwaspadai dan harus ada upaya bersama dari semua pihak yang berkepentingan di pers Indonesia agar hal semacam ini bisa terjadi. hal tidak terjadi.
“Terima kasih kepada redaksi KompasTV yang telah bersedia berbagi pengalaman terkait pemberitaan KCIC. Harus ada harapan agar tidak mengganggu kebebasan pers di negeri ini,” kata Arifin.
Sementara itu, Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim menilai ada ancaman terhadap kebebasan pers dalam kasus yang dialami Kompas TV terkait pemberitaan KCIC.
“Selain itu, kita tahu bahwa penggunaan konten positif sebelumnya tidak perlu dipertanyakan lagi. Ketika berita itu kritis, itu dipertanyakan. Kami menduga ada kontrol informasi yang ingin dilakukan KCIC. Menurut saya ini tidak tepat dan tidak mengikuti mekanisme UU Pers,” jelas Sasmito.