Perubahan status darurat akibat penyebaran virus Covid-19 dari pandemi menjadi endemik akan berdampak pada pendanaan vaksin. Juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan jika wabah dicabut, biaya vaksin Covid-19 tidak lagi ditanggung pemerintah.
“Jika kondisi kesehatan masyarakat baik maka status pandemi akan terangkat dan biaya kesehatan terkait Covid-19 akan dialihkan ke masyarakat,” kata Syahril dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Kesehatan, Jumat (3/12). ). 2).
Syahril mengatakan, saat ini harga satu dosis vaksin Covid-19 untuk semua merek berada di kisaran Rp 100.000 – Rp 150.000. Namun, Syahril mengimbau masyarakat tidak perlu khawatir karena tanggung jawab biaya tersebut bisa dialihkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan.
Menurut Syahril, peserta BPJS Kesehatan akan dapat menikmati manfaat berupa pengobatan dan vaksinasi Covid-19. Bagi masyarakat sangat miskin, Syahril mengingatkan agar pemerintah daerah mengadakan skema khusus untuk kelompok ini.
Syahril melanjutkan, pemerintah memiliki dua pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan, yakni pencabutan status pandemi di tanah air dan usulan pencabutan status pandemi di Badan Kesehatan Dunia atau WHO. Syahril belum bisa memastikan apakah status wabah di tanah air bisa dicabut tahun ini atau tidak.
“Tanya saja ke Menkes nanti,” kata Syahril.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan Syarifah Liza Munira mengatakan, beberapa negara mulai mempertimbangkan untuk membatalkan status wabah tersebut. Namun sejauh ini belum ada negara yang menerapkan status endemik dalam menangani Covid-19.
Meski status epidemi belum dicabut, Liza mengatakan hasil serosurvey per Januari 2023 akan dibawa ke pertemuan tahunan Badan Kesehatan Dunia atau WHO. Pertemuan yang dimaksud adalah Pertemuan WHO ke-76 di Jenewa pada 21-30 Mei 2023.
Liza mengatakan pembahasan terkait pandemi Covid-19 akan menjadi fokus seluruh negeri. Untuk itu, Liza menilai data serosurvey per Januari 2023 akan dibahas dalam forum tersebut.
“Kami membayangkan, karena pertemuan itu tentang kesehatan masyarakat, tentu akan ada yang dibicarakan terkait Covid-19,” ujar Liza.
Berdasarkan survei Katadata Insight Center per September 2021, mayoritas atau 70% masyarakat tidak setuju vaksin virus corona Covid-19 harus berbayar. Hanya 20,2% orang Indonesia yang setuju dengan wacana ini. Sisanya 9,8% responden menyatakan tidak tahu.
Usia mempengaruhi sikap seseorang terhadap wacana vaksin berbayar. Semakin muda responden, semakin tinggi penolakan mereka terhadap vaksin berbayar.
Misalnya, 78,6% responden berusia 18-24 tahun yang menolak gagasan vaksin berbayar tercapai. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan responden berusia di atas 75 tahun yang menolak vaksin berbayar sebesar 57,9%.
Hal yang sama berlaku untuk status sosial ekonomi seseorang (SES). Semakin rendah SES, semakin besar penolakan mereka terhadap vaksin berbayar. Responden di SES A yang menolak vaksin berbayar mencapai 61,2%. Responden di SES B yang menolak vaksin berbayar meningkat menjadi 72,5%.
Di SES C, 76,4% responden menolak vaksin berbayar. Sedangkan 75,6% responden dengan SES DE menolak vaksin berbayar. Sementara itu, ada beberapa alasan masyarakat tidak setuju dengan vaksin berbayar. Mayoritas atau 73,9% responden berpendapat bahwa vaksin adalah hak masyarakat, apalagi dalam situasi darurat seperti saat ini.
Sebanyak 67,9% responden menganggap wacana vaksin berbayar tidak adil bagi mereka yang tidak mampu. Kemudian, 53,5% responden menilai wacana vaksin berbayar berpotensi menjadi ladang korupsi. Survei ini dilakukan dengan melibatkan 8.299 responden yang tersebar di 34 wilayah di Indonesia. Survei dilakukan secara online mulai 6-22 Agustus 2021.
Reporter: Andi M. Arief