Pemerintah Indonesia dinilai perlu memberikan arahan politik yang sistematis dan konsisten untuk mengawal isu dekarbonisasi ekonomi.
Laporan Center for Strategic and International Studies (CSIS) baru-baru ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan beberapa peraturan penting untuk melegitimasi kebijakan dekarbonisasi. Beberapa regulasi di tingkat Peraturan Pemerintah (PP) dan Perpres, misalnya terkait pajak karbon, nilai ekonomi karbon (NEK), sertifikasi minyak sawit berkelanjutan, standar industri hijau, transisi energi, hingga pengembangan kendaraan listrik
“Tren kebijakan global saat ini juga menuju dekarbonisasi. Ini misalnya peraturan deforestasi Uni Eropa dan dana iklim US$20 miliar melalui JETP[Just Energy Transition Partnership],” kata Habib Abiyan Dzakwan, seorang peneliti CSIS yang terlibat dalam studi tersebut.[JustEnergyTransitionPartnership”kataHabibAbiyanDzakwanseorangpenelitiCSISyangterlibatdalamstuditersebut[JustEnergyTransitionPartnership”ujarHabibAbiyanDzakwanPenelitiCSISyangterlibatdalamstuditersebut
Kajian berjudul ‘Arah Kebijakan dan Pemetaan Pemangku Kepentingan Menuju Dekarbonisasi Perekonomian Indonesia’ juga menyoroti substansi kebijakan yang kurang optimal. Meski banyak regulasi terkait, skema insentif misalnya, juga dinilai kurang optimal terutama bagi konsumen dan produsen.
Kajian CSIS juga menyebutkan bahwa isu iklim masih belum diarusutamakan oleh aktor politik. “Presiden bukan satu-satunya aktor yang berpotensi memberikan arahan terkait dekarbonisasi ekonomi. Partai politik juga penting,” tulis peneliti dalam studi tersebut.
Habib mengatakan, tidak ada partai politik di Indonesia yang secara konsisten mengarusutamakan perubahan iklim atau dekarbonisasi dalam agendanya. Pada pemilu 2019, CSIS menyebut hanya satu dari 16 partai politik yang memasukkan isu perubahan iklim dalam agenda utamanya. Studi tersebut juga menyarankan agar pemerintah perlu memastikan bahwa arahan politik terkait dekarbonisasi dilaksanakan secara internal.