Pemerintah akan memperlakukan e-rokok dan vape sama dengan rokok konvensional. Hal itu tertuang dalam RUU Kesehatan yang kini menjadi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dalam RUU Kesehatan, pemerintah akan menganggap rokok elektrik sebagai zat adiktif yang membahayakan kesehatan individu, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Pasalnya, zat tersebut dianggap sebagai zat adiktif yang penggunaannya dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif berupa hasil tembakau dan pengolahan zat adiktif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (6) dan ayat (7) diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU No. RUU Kesehatan, Rabu (1/3).
Jika undang-undang ini dilanggar, ada kemungkinan masyarakat tidak lagi bisa melakukan vape dengan seenaknya. Hal ini karena Pasal 157 telah mengatur adanya tempat khusus untuk merokok.
Pasal tersebut melarang merokok di fasilitas kesehatan, tempat belajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, transportasi umum, tempat kerja, dan tempat umum yang ditunjuk.
“Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di daerahnya,” bunyi Pasal 157 ayat (2).
Jika disetujui, produksi, distribusi, dan penggunaan rokok elektrik harus memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Artinya, setiap cairan yang dijual harus mendapat persetujuan dari pihak berwenang.
Sebagai informasi, RUU Kesehatan sudah disetujui DPR. Artinya, draf tersebut hanya perlu disetujui dalam Rapat Paripurna sebelum menjadi undang-undang pengganti UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Achmad Baidowi pun membenarkan adanya draf tersebut. Namun, kata dia, draf tersebut belum final karena harus menunggu Rapat Paripurna. “Belum, itu inisiatif DPR saja,” kata politisi yang akrab disapa Awiek itu kepada Katadata.co.id, Rabu (1/3).
Protes Pengusaha
Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia atau APVI kecewa dengan RUU Review UU atau RUU Kesehatan. Pasalnya, regulasi tersebut menyamakan tingkat bahaya rokok elektrik dengan rokok konvensional.
“Saya melihat penggagas RUU Kesehatan tidak update dengan perkembangan di dunia. Saat ini semakin banyak negara yang mengizinkan peredaran bebas rokok elektrik,” kata Sekjen APVI Garindra Kartasasmita kepada Katadata.co.id, Rabu (1/3) .
Garindra menjelaskan, beberapa negara yang telah meliberalisasi peredaran rokok elektrik dengan regulasi adalah Yordania dan Kanada. Menurutnya, Kanada bahkan telah menjadikan rokok elektrik sebagai alat utama untuk terapi berhenti merokok.
Pulmonolog dan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Erlina Burhan mengatakan, rokok elektrik menggunakan alat untuk menghindari proses pembakaran daun tembakau. Sebaliknya, rokok elektrik menggunakan cairan atau uap yang dihirup perokok ke dalam paru-parunya.
Berdasarkan data IDI, pengguna rokok elektrik di Indonesia telah mencapai 2,2 juta pada Juli 2022. “Data tersebut kemungkinan akan bertambah saat ini,” ujarnya dalam jumpa pers virtual, Sabtu (4/1).
Erlina mengatakan rokok elektrik mengandung zat berbahaya seperti nikotin, logam, dan aldehida. Kandungan zat berbahaya pada rokok elektrik memang lebih rendah. Inilah yang membingungkan banyak orang.
“Bahkan, 30 isapan rokok elektrik bisa mencapai kadar nikotin 1 mg yang sama dengan rokok konvensional,” ujarnya.
Reporter: Andi M. Arief