Pencabutan ketentuan wajib kesehatan dalam UU Kesehatan memicu polemik. Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman menilai penghapusan belanja wajib berupa alokasi 5% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan kemunduran bagi kesehatan bangsa.
“Alokasi anggaran kesehatan sangat kritis, penting dan vital dalam hal pelayanan kesehatan,” ujar Dicky, Jumat (14/7).
Akibatnya, pemerintah berpotensi tidak mampu menjamin pelayanan kesehatan minimal di dalam negeri. “Penghapusan belanja wajib pada akhirnya akan mengganggu sektor pelayanan kesehatan atau menurunkan kualitasnya,” kata Dicky.
Dicky mengatakan, wajib belanja penting untuk mengatasi ketimpangan pelayanan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN. Sehingga pembatalan anggaran ini berpotensi mengganggu pelaksanaan program JKN.
“Otomatis, upaya penguatan sistem kesehatan hanya komitmen belaka, retorika belaka.
Dicky berpendapat bahwa beberapa penelitian menemukan bahwa pengeluaran wajib harus ditetapkan untuk memperkuat sistem kesehatan. “Tanpa wajib belanja tidak mungkin masuk promosi kesehatan,” ujarnya.
Dicky mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO telah menyarankan negara untuk mengatur pengeluaran wajib. Hal ini untuk mencapai pengeluaran kesehatan sebesar 5% dari Produk Domestik Bruto masing-masing negara.
Berdasarkan Tren Makro, belanja kesehatan Indonesia tidak mengalami perubahan selama 2011-2019. Sedangkan belanja kesehatan negara hanya mampu mencapai belanja kesehatan melebihi 3% dari PDB pada tahun 2016 yaitu sebesar 3,02%.
Dicky menyebutkan parameter lain yang direkomendasikan WHO adalah belanja kesehatan pemerintah per kapita. Dicky menyatakan bahwa pengeluaran kesehatan pemerintah per kapita yang ideal untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah US$60 – US$86 per tahun.
Bank Dunia mencatat, belanja kesehatan per kapita pemerintah hanya akan melebihi US$ 60 per tahun pada 2020 atau US$ 73,19 per tahun. Dicky mengatakan, Indonesia masih jauh dari target ideal US$86 per tahun.
Padahal, target belanja kesehatan per kapita pemerintah sebesar US$ 86 per tahun harus tercapai pada 2020, kata Dicky.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pengeluaran kesehatan suatu negara tidak secara langsung tercermin pada kesehatan suatu negara. Budi mengatakan, hal itu menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam menghapus klausula ketentuan wajib biaya kesehatan.
Budi mengatakan rata-rata angka harapan hidup di Amerika Serikat dan Kuba sama yakni 80 tahun. Namun, pengeluaran kesehatan per kapita kedua negara sangat berbeda, Amerika Serikat mencapai US$ 12.000 per tahun dan Kuba sebesar US$ 1.900 per tahun.
Sedangkan rata-rata angka harapan hidup di Jepang, Korea Selatan, dan Singapura adalah 84 tahun. Namun, belanja kesehatan per kapita ketiga negara maju tersebut berbeda, yakni Jepang hingga US$8.400 per tahun, Korea Selatan senilai US$3.600 per tahun, sedangkan Singapura hanya US$2.800 per tahun.
“Apa yang kita pelajari? Besaran belanja kesehatan tidak menentukan kualitas. Tidak ada data yang membuktikan bahwa semakin besar belanja kesehatan maka semakin baik status kesehatannya,” kata Budi di Gedung DPR, Selasa (11/7). .
Reporter: Andi M. Arief