Partai Buruh menyatakan memilih mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) tentang Omnibus Law Cipta Kerja ketimbang membahas kembali peraturan tersebut di parlemen. Pasalnya, Partai Buruh menganggap penerbitan Perppu itu darurat.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, buruh menilai jika UU Cipta Kerja dibahas lagi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hasilnya akan sama.
Penilaian tersebut berdasarkan beberapa kebijakan yang diambil DPR saat mengesahkan UU Cipta Kerja tidak menyerap aspirasi buruh.
Kedua, kemenangan partai buruh dan serikat buruh dalam uji resmi UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional, memberikan waktu 2 tahun bagi pembuat undang-undang untuk melakukan perbaikan. Jika tidak, menurut undang-undang UU Cipta Kerja akan menjadi konstitusi tetap.
Untuk memenuhi persyaratan Mahkamah Konstitusi, para legislator telah sepakat untuk membahas UU Cipta Kerja sebagai Program Legislatif Nasional prioritas. Artinya, legislatif tidak membiarkan 2 tahun berlalu. Bahkan, telah dilakukan revisi terhadap UU PPP sebagai pintu gerbang pembahasan omnibus law.
Melihat situasi ini, Partai Buruh berdiskusi dengan ahli hukum tata negara. Opsinya ada dua, yang pertama membiarkan UU Cipta Kerja ditinjau DPR dan yang kedua mendesak agar Perppu diterbitkan.
“Setelah kami pelajari, pilihan jatuh pada yang pertama. Kalau dibahas di DPR, hasilnya sama seperti sebelumnya,” ujar Said Iqbal, dalam keterangan resmi, Sabtu (31/12).
Selain itu, Partai Buruh menilai lahirnya Perppu Cipta Kerja sudah memenuhi syarat darurat. Kondisi darurat dimaksud antara lain tidak ada kenaikan gaji selama tiga tahun berturut-turut.
Belakangan, outsourcing merajalela, dan banyak pekerja harus menerima paket pesangon dengan nilai kecil, bahkan jika hanya 0,5%.
“Partai kita adalah partai kelas. Jadi ini bentuk darurat, dimana saat ini ada darurat gaji, darurat outsourcing meluas, darurat PHK, darurat pekerja kontrak berulang, darurat PHK kecil-kecilan. .bayar. Jadi kita pilih Perppu,” ujarnya.
Soal isi Perppu, Said Iqbal mengaku pihaknya sudah mengusulkan secara tertulis. Bahkan, isi Perppu sudah didiskusikan dengan tim Kadin. Dengan kata lain, ada dialog sosial yang telah dilakukan.
Ia menjelaskan, usulan yang diajukan Partai Buruh terdiri dari 9 poin. Yang pertama terkait upah minimum, dimana pekerja meminta kembali ke UU 13/2003 dan PP 78/2015.
Dalam kedua peraturan tersebut, kenaikan upah minimum ditentukan berdasarkan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Namun jika KHL yang diramalkan lebih besar dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi, maka KHL yang digunakan.
Demikian juga upah minimum sektoral harus tetap ada. Namun pembahasannya bukan di kabupaten/kota, melainkan dibahas secara nasional oleh serikat pekerja bersama organisasi sektor industri.
“Kedua, mengenai outsourcing, intinya harus ada kegiatan inti dan pendukung. Tidak boleh ada outsourcing di kegiatan inti. Sedangkan outsourcing untuk kegiatan pendukung harus dibatasi. Berbeda dengan omnibus law yang terbuka lebar,” ujar Iqbal.
Ketiga, terkait pesangon, pegawai diminta kembali ke UU 13/2003 dengan menggunakan bahasa ‘minimal’. Oleh karena itu, pembayaran pesangon bisa lebih besar dari yang diatur undang-undang.
Namun upah yang digunakan sebagai perhitungan dibatasi maksimal 4 kali PTKP. Jika gaji pengurus ke atas lebih dari 4 kali PTKP, maka yang dihitung adalah 4 kali PTKP.
Kemudian, terhadap buruh kontrak, Partai Buruh menginginkan adanya batasan durasi kontrak. Selain itu, pekerja menolak untuk diberhentikan dengan mudah, jaminan upah bagi pekerja perempuan yang sedang cuti haid dan hamil, tidak ada jam kerja yang fleksibel, pengaturan cuti wajib, dan sanksi bagi pelanggar kembali ke UU 13/2003.
Beberapa hal yang telah dikemukakan merupakan isi yang diajukan oleh Partai Buruh dalam Perppu tersebut. Namun, dia mengaku tidak mengetahui isi Perppu yang kabarnya sudah ditandatangani Presiden Jokowi itu.
Namun yang pasti, jika ternyata isi Perppu tersebut tidak sesuai harapan, maka Partai Buruh akan melakukan penolakan besar-besaran terhadap Perppu tersebut.
Partai Buruh sepakat mengeluarkan Perppu omnibus law UU Cipta Kerja karena tidak ingin kebijakan komprehensif ini dibahas lagi di parlemen. Namun soal isi, para pekerja baru akan menyatakan sikapnya setelah menerima Perppu.