Pengusaha mengeluhkan kendala yang membuat pembangunan lapak smelter bauksit terhenti. Mereka menjelaskan kendala pembiayaan terjadi karena belum dibangunnya fasilitas kilang.
Penurunan proyek peleburan berdampak pada bauksit sebagai komoditas mineral yang belum mendapatkan relaksasi larangan ekspor. Peraturan tersebut mulai berlaku pada 10 Juni 2023.
Plt Ketua Umum Asosiasi Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto mengatakan, bisnis membutuhkan belanja modal rata-rata US$ 1,2 miliar atau setara Rp 18,6 triliun untuk membangun satu unit peleburan.
Sedangkan satu unit smelter memiliki kapasitas pengolahan 6 juta ton bijih bauksit hingga 2 juta ton alumina per tahun. Ronald menilai, investasi untuk mendapatkan smelter bauksit jauh lebih besar dibandingkan pembangunan smelter nikel.
“Mereka malah tidak mau perbankan Indonesia, apalagi bank asing, mereka lebih takut,” kata Ronald saat dihubungi melalui telepon, Kamis (25/5).
Ronald mendorong pemerintah aktif mendanai peleburan bauksit dalam negeri dengan pembiayaan sekitar 25%. Suntikan modal dari lembaga keuangan negara seperti asosiasi bank milik negara dianggap sebagai alternatif pengembangan hilir bauksit.
Menurut Ronald, pemerintah sebenarnya memberikan kemudahan kredit bagi pengusaha yang membangun smelter bauksit. “Pandemi Covid-19 berdampak pada negara investor yaitu China. Mereka juga punya masalah keuangan,” kata Ronald.
Kementerian ESDM menyatakan, ada tujuh proyek peleburan yang masih berupa lahan lapangan milik PT Kualitas Sukses Sejahtera, PT Dinamika Sejahtera Mandiri, PT Parenggean Makmur Sejahtera, PT Persada Pratama Cemerlang, PT Sumber Bumi Marau, PT Laman Pertambangan, dan PT Kalbar Perkasa Bumi.
Pembangunan smelter Bumi Perkasa Kalbar terhenti karena investor menghentikan pendanaan. Situasi ini terjadi setelah izin usaha pertambangan perusahaan dicabut oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Di sisi lain, terdapat empat smelter bauksit dengan total serapan 13,9 juta ton yang menghasilkan 4,3 juta ton alumina. Keempatnya adalah PT Indonesia Chemical Alumina, PT Bintan Alumina Indonesia, PT Well Harvest Winning Alumina Refinery Line-1, dan PT Well Harvest Winning Alumina Refinery Line-2.
Smelter milik PT Well Harvest Winning Alumina Refinery dan PT Bintan Alumina Indonesia merupakan pabrik pengolahan bijih bauksit dengan output smelter grade alumina (SGA). Smelter yang memiliki kapasitas input 12,5 juta ton bijih bauksit ini mampu menghasilkan 4 juta ton bauksit olahan setiap tahunnya.
Sedangkan smelter PT Indonesia Chemical Alumina memiliki kapasitas input bijih bauksit sebesar 750 ribu ton. Smelter tersebut dapat menghasilkan 300.000 ton bauksit olahan.
Lalu ada smelter untuk mengolah produk lanjutan dari bijih bauksit menjadi aluminium, ingot dan billet yang dioperasikan oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Smelter tersebut memiliki kapasitas produksi sebesar 345.000 ton.
“Kalau itu milik Bintan Alumina Indonesia, itu izin usaha industri biasa. Sedangkan peleburan berdasarkan izin dari Kementerian ESDM semuanya mangkrak,” kata Ronald.
Sebelumnya, Kementerian ESDM tidak memasukkan bauksit sebagai komoditas mineral yang akan mendapatkan relaksasi larangan ekspor yang berlaku mulai 10 Juni 2023. Kewajiban penghentian ekspor bauksit masih aktif karena belum ada progres. dalam konstruksi. fasilitas pemurnian bauksit.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan tujuh dari delapan proyek pembangunan smelter yang direncanakan masih berupa sawah. Situasi ini berdampak pada kepastian larangan ekspor bauksit sebagaimana diamanatkan Pasal 170A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral atau UU Minerba.