Kontroversi keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menunda Pilkada 2024 masih berlangsung. Padahal, pakar hukum Bivitri Susanti menilai keputusan menunda pilkada selama dua tahun, enam bulan, tujuh hari merupakan keputusan yang salah. Menurutnya, penundaan pilkada hanya bisa dilakukan di satu daerah dan tidak berskala nasional.
“Menurut saya keputusan itu salah, karena melanggar undang-undang, bahkan melanggar konstitusi,” kata Bivitri dalam video TikTok dengan akun @bivitrisusanti.
Ia menjelaskan, Pasal 22E UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu diadakan setiap lima tahun. Ini adalah norma konstitusi, sehingga undang-undang pemilu tidak memberi ruang untuk menunda pemilu.
“Memang ada pasal 400 yang mengatakan boleh ada pemilu susulan, begitu istilahnya. Kalau suatu daerah, bukan negaranya yang terkena bencana, misalnya gempa di Cianjur,” kata Bivitri.
Jika situasi ini terjadi di suatu daerah, masih diperbolehkan untuk menunda pemilihan selama beberapa bulan. Namun, hal ini tidak diterapkan secara nasional. Selain itu, bentuk dan alasan pemilu berikut harus dibatasi hanya karena bencana dan alasan lain yang sangat mendesak.
Bivitri menambahkan, tindak lanjut pemilu di suatu daerah tidak dilakukan melalui keputusan pengadilan, melainkan melalui aturan Komisi Pemilihan Umum atau KPU. Artinya, karena Pasal 22E UUD 1945 merupakan norma konstitusi yang merupakan kesepakatan politik, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah kesepakatan politik.
Hal lain yang perlu diperhatikan menurut Bivitri adalah bahwa undang-undang pemilu merupakan rezim administrasi pemerintahan. Oleh karena itu, penting untuk membedakannya dengan rezim sipil alias privat yang hanya melibatkan sebagian orang dengan orang lain atau badan hukum.
Sebagai aturan rezim administrasi, ketika terjadi kasus seperti yang terjadi pada Parti Prima, penggugat dalam hal ini Parti Prima dinyatakan tidak lolos verifikasi administratif sebagai pihak. Ini sebenarnya sudah selesai, karena sudah dibawa ke jalan yang sudah diatur dalam UU 7 Tahun 2017 yaitu ke Bawaslu dan bisa dilanjutkan ke PTUN.
“Jadi sudah ada pengaturan untuk pemilu selanjutnya, kalau sengketa putusan dengan MK, maka kalau menyangkut etika DKPP, tidak ada perdata,” kata Bivitri dalam video tersebut.
Sedangkan kasus yang dibahas di daerah ini, dalilnya melawan hukum oleh KPU. Kondisi ini justru membuat KPU menjadi tergugat dan dianggap aneh oleh Bivitri. “Kalau tindakan melawan hukum oleh penguasa, seharusnya dibawa ke pengadilan tata usaha negara, tapi bagaimana bisa diterima di pengadilan negeri?” dia berkata.
Selain itu, Parti Prima juga meminta ganti rugi non materi dengan menunda pilkada. Sedangkan dalam perkara perdata, akibat hukumnya hanya dapat dirasakan oleh kedua belah pihak yaitu penggugat dan tergugat, dan tidak untuk masyarakat umum.
Pakar kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, juga mempertanyakan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menunda pilkada. Dimana hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengadili kasus partai yang gagal lolos verifikasi KPU yaitu Parti Prima malah diputuskan salah KPU dan sebagai hukuman pilkada 2024 diundur ke Juli 2025.
“Putusan ini sungguh kontroversial dan sulit dipahami. Bagaimana bisa Pengadilan Negeri mengeluarkan putusan penundaan pilkada yang di luar kewenangannya?” kata Achmad dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/3).
Dia juga mempersoalkan bagaimana partai-partai yang tidak memenuhi syarat pengukuhan KPU dimenangkan oleh pengadilan negeri. Padahal, dalam menjalankan tugas terkait verifikasi parpol secara administratif dan faktual, KPU mengacu pada peraturan perundang-undangan. Dengan begitu, ketika ada pihak yang tidak berhak, harus membawa bukti ke Bawaslu.
Jika bukti partai prima bahwa KPU memang dirugikan, partai bisa berargumen kuat. Hal ini mencontohkan upaya partai Ummat yang awalnya tidak lolos verifikasi fakta, namun setelah membawa bukti kuat mampu lolos sebagai peserta pemilu.
Sebelumnya, hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan untuk menunda pemilihan melalui putusan bernomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Gugatan itu diajukan Parti Prima pada 8 Desember 2022.
“Menerima gugatan penggugat secara keseluruhan yang menyatakan bahwa penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat,” tulis majelis hakim dalam putusannya yang dikutip Kamis (2/3).
Dalam hal hakim mengabulkan gugatan Partai Prima, majelis hakim memerintahkan KPU membayar ganti rugi sebesar Rp 500 juta kepada penggugat. Selain itu, KPU juga dihukum karena tidak melaksanakan tahapan sisa Pemilu 2024 sejak hasil diumumkan.
“(Tergugat) melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal kurang lebih 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari,” tulis majelis hakim dalam putusannya.
Dalam pelaksanaannya majelis hakim mengatakan bahwa perkara ini dapat segera dilaksanakan terlebih dahulu. Selain itu, hakim memerintahkan KPU membayar beban perkara sebesar Rp 410 juta.
Soal gugatan, Parti Prima menyatakan dirugikan dalam proses verifikasi administrasi yang dilakukan KPU. KPU disebut tidak memiliki dasar yang kuat dalam menetapkan bahwa Parti Prima tidak memenuhi syarat sehingga tidak dapat ikut dalam verifikasi fakta. Parti Prima mengatakan, KPU serampangan melaksanakan verifikasi di 22 daerah.